Anak-anak yang Terpenjara di antara Dua Gunung
Sudah tahun kelima ini saya melakukan survei dengan sebuah tes pada siswa baru kelas VII yang saya ajar. Perintahnya cukup sederhana, mereka menggambar dari cerita yang saya tuturkan. Pada intinya siswa akan menggambarkan seekor ikan, seekor bebek dan sebuah pemandangan. Agar tampak alami dalam tes ini, saya menggunakan jam pelajaran sains sebagaimana pelajaran yang saya ampu dan dikaitkan dengan materi yang sedang berlangsung. Hasil tes dari tahun ke tahun cenderung sama.
Untuk memberikan penilaian, saya buatkan skoring yang cukup mudah : masing-masing gambar mendapat skor 5. Kemudian kita nilai pada gambar ikan, jika siswa menggambar kepala ikan menghadap ke kiri maka poin dikurangi 1 dan jika cara menggambar ikan seperti yang saya berikan contoh di papan tulis, skor dikurangi 3. Untuk skoring pada gambar bebek adalah jika gambar bebek menghadap ke kiri, maka dikurangi 1 dan jika dimulai dengan angka 3 (yang nantinya akan menjadi sayap) atau angka 2 (sebagai awal dari kepala) maka skor akan dikurangi 3 point lagi.
Skoring pada pemandangan adalah yang paling menarik karena siswa pasti akan berteriak histeris, antara tertawa lucu dan tidak rela kehilangan poin. Jika siswa menggambar dua gunung maka skor akan dikurangi 3 poin. Selanjutnya jika ada gambar matahari di antara dua gunung tersebut maka skor dikurangi lagi sebesar 3 poin, dan terakhir : jika ada jalan yang melengkung ke kanan maka dikurangi lagi sebesar 2 poin. Pada gambar ini, sangat jarang ada siswa yang mendapat nilai lebih dari 1 poin. Perlu diketahui bahwa siswa-siswa saya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dari NTB, Makassar, Jawa tentunya hingga Belitung. Hebatnya lagi adalah beberapa dari mereka sudah sering mengikuti perlombaan matematika atau sains hingga tingkat nasional.
Sedih sekali melihat, begitu kompaknya anak-anak ini. Begitu mendengar kata ‘pemandangan’, maka yang terbersit di otak adalah dua gunung dengan matahari mengintip di tengahnya serta ada jalan melengkung. Ketika coba saya menanyakan kepada siswa, kok bisa seragam? Siapa yang mengajari? Mereka tertawa dan menyebutkan nama-nama ibu guru mereka ketika masih TK. Padahal tidak semua dari siswa-siswa tersebut memiliki kesan terhadap dua gunung seperti tinggal di kampung atau pernah berwisata di daerah yang memiliki panorama dua gunung dan sejenisnya.
Mengapa tidak menggambar laut? Mereka bilang tidak bisa. Pernah ke laut? Pernah.
Sebenarnya mereka bukan tidak bisa, namun tidak pernah berpikir bebas mengenai pemandangan, entah tentang laut, gedung, sungai jalan raya atau apa pun itu yang menarik bagi mereka. Saya coba memberikan tes untuk menggambar laut setelah saya perlihatkan video tentang laut , dan mereka bisa. Kemudian saya bebaskan mereka menggambar apa saja yang mereka sukai. Dahsyat hasilnya.
Ada yang perlu ditinjau lagi tentang pendidikan di negeri ini. Anak Jakarta dengan anak Bengkulu memiliki ‘program di otak’ menggambar pemandangan yang sama persis. Bagaiman bisa? Kilas balik ke enam tahun lalu, 2008, ketika mereka masih belajar di TK. Waktu itu bukanlah era Indonesia dengan sistem pendidikan yang ‘kuno’. Arus informasi sudah terbuka di Indonesia. Seharusnya berbagai teori pendidikan dapat dipelajari oleh para guru. Video pembelajaran pun dapat dengan mudah didownload dari Youtube. Entahlah waktu itu apa yang dilakukan oleh pemegang kebijakan, pemilik sekolah dan para pendidik. Sepuluh tahun reformasi ternyata Indonesia masih memenjarakan anak-anak pada dua gunung. Dan orang tua pun hanya diam.
*Ditulis oleh Arifudin Zul Zadani, praktisi pendidikan